KOTAK PENCARIAN:

Selasa, 04 Oktober 2011

AKI dan AKB tahun 2007

iklan1
Sambutan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Obstetri Ginekologi Sosial I
Tema :
Peningkatan Pelayanan Obstetri Ginekologi Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga
Malang, 3 - 6 April 2008

Dalam upaya meningkatkan kualitas hidup perempuan dan keluarga, pendekatan siklus hidup menjadi penting. Hal ini merupakan bagian dari peranan Kesehatan Reproduksi. Kesehatan Reproduksi telah mendapat perhatian khusus secara global sejak Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Salah satu hasilnya adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang menekankan pentingnya peningkatan kesehatan reproduksi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan sepanjang siklus hidup dengan pemenuhan hak reproduksinya.

Sebagai tindak lanjut dari ICPD, Kebijakan Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia menetapkan bahwa Kesehatan Reproduksi mencakup lima komponen/program terkait (Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif), yaitu :
1. Program Kesehatan Ibu, Bayi Baru Lahir dan Anak
2. Keluarga Berencana
3. Program Kesehatan Reproduksi Remaja
4. Program Pencegahan dan Penanganan Penyakit Menular Seksual termasuk HIV/AIDS.
5. Program Kesehatan Reproduksi pada Usia Lanjut.

Kesehatan Ibu merupakan komponen yang sangat penting dalam kesehatan reproduksi karena seluruh komponen yang lain sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibu. Apabila Ibu sehat maka akan menghasilkan bayi yang sehat yang akan menjadi generasi kuat. Ibu yang sehat juga menciptakan keluarga sehat dan bahagia.

Untuk mewujudkan itu semua, seluruh pemangku kepentingan dalam program kesehatan reproduksi di Indonesia (pemerintah pusat maupun daerah, LSM, dunia usaha, organisasi profesi, donor agency) hendaknya meningkatkan aktifitasnya dalam mendukung pencapaian kualitas hidup ibu yang pada akhirnya juga akan meningkatkan kualitas hidup keluarga.

Sebagai tolok ukur keberhasilan kesehatan ibu maka salah satu indikator terpenting untuk menilai kualitas pelayanan obstetri dan ginekologi di suatu wilayah adalah dengan melihat Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Balita (AKB) di wilayah tersebut. Di Indonesia, berdasarkan perhitungan oleh BPS diperoleh AKI tahun 2007 sebesar 248/100.000 KH. Jika dibandingkan dengan AKI tahun 2002 sebesar 307/100.000 KH, AKI tersebut sudah jauh menurun, namun masih jauh dari target MDG 2015 (102/100.000 KH) sehingga masih memerlukan kerja keras dari semua komponen untuk mencapai target tersebut. Tetapi, apabila kita melihat AKI berdasarkan data yang dikirimkan oleh Puskesmas seluruh Indonesia maka target MDG’s tersebut sedikit lagi akan tercapai. Berdasarkan laporan dari Puskesmas pada tahun 2005 diperoleh AKI sebesar 151, pada tahun 2006 sebesar 127 dan pada tahun 2007 sebesar 119/100.000 KH. Kalau kita lihat data AKI dari lapangan menunjukkan adanya penurunan yang sangat bermakna.

Sementara untuk AKB, berdasarkan perhitungan dari BPS, pada tahun 2007 diperoleh AKB sebesar 26,9/1000 KH (2007). Angka ini sudah jauh menurun dibandingkan tahun 2002-3 sebesar 35/1000 KH dan upayanya akan lebih ringan bila dibandingkan dengan upaya pencapaian target MDG’s untuk penurunan AKI. Adapun target AKB pada MDG’s 2015 sebesar 17/1000 KH. Apabila kita melihat data tahun 2007 dari laporan Puskesmas, diperoleh AKB sebesar 9,1/1000 KH. Angka ini sudah jauh menurun dan melampaui target MDG’s.

Trend penurunan AKI dan AKB tersebut menunjukkan keberhasilan dari jerih payah Indonesia dalam mencapai target MDG’s. Namun angka – angka tersebut khususnya AKI masih tinggi di antara negara ASEAN di luar Laos dan Kamboja. Untuk itu berbagai kegiatan dan praktik terbaik telah dilaksanakan dan dikembangkan termasuk program Keluarga Berencana (KB).

Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia termasuk yang dianggap berhasil di tingkat internasional. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap penurunan pertumbuhan penduduk, sebagai akibat dari penurunan angka kesuburan total (total fertility rate, TFR). Menurut SDKI, TFR pada kurun waktu 1967-1970 menurun dari 5,6 menjadi hampir setengahnya dalam 30 tahun, yaitu 2,6 pada periode 1997- 2002. Demikian juga pencapaian cakupan pelayanan KB (contraceptive prevalence rate, CPR) dengan berbagai metode meningkat menjadi 60,3% pada tahun 2002-2003.

Walaupun data SDKI 2002-2003 menunjukkan keberhasilan program KB, dari sumber data yang sama terungkap bahwa perempuan berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya tetapi tidak menggunakan cara kontrasepsi (unmet need) masih cukup tinggi yaitu 8,6%. Penyebab masih tingginya angka ini, antara lain kualitas informasi dan pelayanan KB, serta missed opportunity pelayanan KB pada pasca-persalinan. Proporsi drop-out akseptor KB (discontinuation rate) adalah 20,7%. Hal ini menunjukkan bahwa masih jauh lebih banyak terjadi kehamilan yang perlu dihindari dan kesadaran berKB pada pasangan yang paling membutuhkan belum cukup mantap.

Sejak tahun 2000 Departemen Kesehatan telah menerapkan MPS (Making Pregnancy Safer) untuk percepatan penurunan AKI dengan tiga pesan kuncinya yaitu : 1) Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terampil; 2) Setiap komplikasi kehamilan dan persalinan mendapat penanganan yang adekuat; 3) Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi yang adekuat. Pesan kunci tersebut dilaksanakan melalui 4 strategi dan sudah sejalan dengan Visi Departemen Kesehatan yaitu; Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat dan Misinya yaitu Membuat rakyat sehat. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut dilaksanakan melalui 4 strategi yaitu : 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat; 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas; 3) Meningkatkan sistem surveilance, monitoring dan informasi kesehatan; 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan.

Dalam mengimplementasikan strategi tersebut kami sampaikan kebijakan pelaksanaan program penurunan AKI – AKB 2008 difokuskan pada Pelaksanaan 1) Program Perencanaan Persalinan dan Persiapan Komplikasi (P4K) dengan Stiker di seluruh wilayah Puskesmas; 2) Kemitraan Bidan dan Dukun; 3) PONED/PONEK; 4) UTD di daerah; 5) Pelayanan KB berkualitas serta; 6) Pemenuhan SDM kesehatan.

Program Perencanaan Persalinan dan Persiapan Komplikasi (P4K) dengan stiker adalah kegiatan yang membangun potensi suami, keluarga dan masyarakat, khususnya untuk persiapan dan tindakan yang dapat menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir dengan menanggulangi penyebab kematian utama, yaitu :
  • Pertama, mengenal dan mendata kehamilan yang ada di desa, serta memberikan stiker agar tiap ibu hamil menggunakan jasa bidan.
  • Kedua, membentuk kelompok penyedia donor darah agar ada ketersediaan darah yang dapat digunakan sewaktu-waktu
  • Ketiga, merencanakan dan menyiapkan sistem angkutan desa untuk menangani kasus darurat pada saat persalinan bila diperlukan
  • Dan keempat, merencanakan pengumpulan dana dan menginformasikan ketersediaan bantuan Askeskin bagi yang membutuhkan
Kegiatan ini telah dilaksanakan secara nasional mulai tahun 2007. Untuk ini pun diharapkan dukungan dari semua stake holder terkait.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat khususnya Ibu dan anak, juga telah dikembangkan dan diimplementasikan penggunaan buku KIA. Buku KIA dapat dibaca oleh ibu, suami dan anggota keluarga lainnya karena berisi informasi yang sangat berguna bagi kesehatan ibu dan anak balita. Buku KIA juga memuat informasi tanda – tanda bahaya pada kehamilan dan masalah kesehatan ibu dan anak yang dapat membahayakan kesehatan, diharapkan ibu tidak malu dan ragu untuk bertanya kepada petugas apabila ditemukan hal yang tidak sesuai dengan informasi.

Saat ini penggunaan buku KIA sebagian besar masih di tingkat puskesmas dan jaringannya, masih sedikit digunakan di rumah sakit dan kalangan profesi. Untuk itu pada kesempatan yang baik ini saya juga menghimbau agar profesi dapat menggunakan buku KIA, hal ini merupakan salah satu peran obstetri dan ginekologi dalam meningkatakan Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga.

DR. dr. Siti Fadhillah Supari, M.Kes


APA YANG DIMAKSUD DENGAN KEMATIAN IBU ?
Kematian ibu yang terjadi selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau incidental (faktor kebetulan).

APA ARTINYA YANG DIMAKSUD DENGAN ANGKA KEMATIAN IBU TINGGI ?
  • Jumlah kematian ibu yang meninggal mulai saat hamil hingga 6 minggu setelah persalinan per 100.000 persalinan tinggi.
  • Angka kematian ibu tinggi adalah angka kematian yang melebihi dari angka target nasional.
  • Tingginya angka kematian, berarti rendahnya standar kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan, dan mencerminkan besarnya masalah kesehatan.

BAGAIMANA USAHA SELAMA INI UNTUK MENURUNKAN AKI ?

Upaya yang telah dilakukan oleh Depkes :
  • Peningkatan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu
  • Penyediaan sistem pelayanan kesehatan untuk daerah terpencil, tertinggal, perbatasan di 12 provinsi, 33 kabupaten, 101 puskesmas.
  • Peningkatan pemberdayaan perempuan, keluarga dan masyarakat.
  • Perencanaan terpadu Lintas Program dan Lintas Sektor untuk percepatan penurunan AKI (DTPS-MPS) dengan menggunakan indikator KIA sebagai indikator pembangunan daerah.

MENGAPA SAMPAI SEKARANG AKI MASIH TINGGI ?
  • Angka kematian yang ada saat ini tidak mencerminkan kondisi sat ini. Karena SDKI menggambarkan data 5 tahun yang lalu.
  • Terbatasnya pelayanan kesehatan ibu : tenaga, sarana, belum optimalnya keterlibatan swasta
  • Terbatasnya kualitas tenaga kesehatan untuk pelaksanaan kegiatan responsif gender : antenatal yang terintegrasi, pertolongan persalinan, penanganan komplikasi kebidanan, keluarga berencana.
  • Belum adanya sistem pelayanan kesehatan yang sesuai untuk daerah terpencil : belum ada regulasi untuk memberikan kewenangan yang lebih untuk tindakan medis khusus, terbatasnya insentif untuk tenaga kesehatan, terbatasnya sarana/dana untuk transportasi (kunjungan dan rujukan)
  • Kurangnya dana operasional untuk pelayanan kesehatan ibu, terutama untuk daerah terpencil
  • Kurang optimalnya pemberdayaan masyarakat : ketidaksetaraan gender, persiapan persalinannya dan dalam menghadai kondisi gawat darurat (mandiri) di tingkatan desa.
  • Belum optimalnya perencanaan terpadu lintas sektor dan lintas program untuk percepatan penurunan angka kematian ibu.

Tidak ada komentar: